BERSIAP KECEWA BERSEDIH TANPA KATA-KATA

Posted by Admin on Thursday, June 30, 2011

Aku menunggu setengah jam sampai toko bunga itu buka. Tapi satu jam kemudian aku belum berhasil memilih. Tak ada yang mantap. Penjaga toko itu sampai bosan menyapa dan memujikan dagangannya.

Ketika hampir aku putuskan untuk mencari ke tempat lain, suara seorang perempuan menyapa.

”Mencari bunga untuk apa Pak?”

Aku menoleh dan menemukan seorang gadis cantik usianya di bawah 25 tahun. Atau mungkin kurang dari itu.

”Bunga untuk ulang tahun.”

”Yang harganya sekitar berapa Pak?”

”Harga tak jadi soal.”

”Bagaimana kalau ini?”

Ia memberi isyarat supaya aku mengikuti.

”Itu?”

Ia menunjuk ke sebuah rangkain bunga tulip dan mawar berwarna pastel. Bunga yang sudah beberapa kali aku lewati dan sama sekali tak menarik perhatianku.

”Itu saya sendiri yang merangkainya.”

Mendadak bunga yang semula tak aku lihat sebelah mata itu berubah. Tolol kalau aku tidak menyambarnya. Langsung aku mengangguk.

”Ya, ini yang aku cari.’

Dia mengangguk senang.

”Mau diantar atau dibawa sendiri?”

”Bawa sendiri saja. Tapi berapa duit?”

Ia kelihatan bimbang.

”Berapa duit.”

”Maaf sebenarnya ini tak dijual. Tapi kalau Bapak mau nanti saya bikinkan lagi.”

”Tidak, aku mau ini.”

”Bagaimana kalau itu?”

Ia menunjuk ke bunga lain.

”Tidak. Ini!”

”Tapi itu tak dijual.”

”Kenapa?”

”Karena dibuat bukan untuk dijual.”

Aku ketawa.

”Sudah, katakan saja berapa duit? Satu juta?” kataku bercanda.

”Dua.”

”Dua apa?”

”Dua juta.”

Aku melongo. Mana mungkin ada bunga berharga dua juta. Dan bunga itu jadi semakin indah. Aku mulai penasaran.

”Jadi, benar-benar tidak dijual?”

”Tidak.”

Aku pandangi dia. Dan dia tersenyum seperti menang. Lalu menunjuk lagi bunga yang lain.

”Bagaimana kalau itu?”

Aku sama sekali tak menoleh. Aku keluarkan dompetku, lalu memeriksa isinya. Kukeluarkan semua. Hanya 900 ratus ribu. Jauh dari harga. Tapi aku taruh di atas meja berikut uang receh logam.

Dia tercengang.

”Bapak mau beli?”

”Ya. Tapi aku hanya punya 900 ribu. Itu juga berarti aku harus jalan kaki pulang. Aku tidak mengerti bunga. Tapi aku menghargai perasaanmu yang merangkainya. Aku merasakan kelembutannya, tapi juga ketegasan dan kegairahan dalam karyamu itu. Aku mau beli bunga kamu yang tak dijual ini.”

Dia berpikir. Setelah itu menyerah.

”Ya, sudah, Bapak ambil saja. Bapak perlu duit berapa untuk pulang?”

Aku terpesona tak percaya.

”Bapak perlu berapa duit untuk ongkos pulang?”

”Duapuluh ribu cukup.”

”Rumah Bapak di mana?”

”Cirendeu.”

”Cirendeu kan jauh?”

”Memang, tapi dilewati angkot.”

”Bapak mau naik angkot bawa bunga yang aku rangkai?”

”Habis, naik apa lagi?”

”Tapi angkot?”

”Apa salahnya. Bunga yang sebagus itu tidak akan berubah meskipun naik gerobak.”

”Bukan begitu.”

”O, kamu tersinggung bunga kamu dibawa angkot? Kalau begitu aku jalan kaki saja.”

”Bapak mau jalan kaki bawa bunga?”

”Ya, hitung-hitung olahraga.”

Dia menatap tajam.

”Bapak bisa ditabrak motor. Bapak ambil saja uang Bapak 150 untuk ongkos taksi.”

Aku tercengang.

”Kurang?”

“Tidak. Itu bukan hanya cukup untuk naik Blue Bird, tapi juga cukup untuk makan double BB di BK PIM.”

Dia tersenyum. Cantik sekali.

”Silakan. Bapak perlu kartu ucapan selamat di bunga?”

”Tidak.”

Dia berpikir.

”Jadi, bukan untuk diberikan kepada seseorang? Bunga ini saya rangkai untuk diberikan pada seseorang.”

”Memang. Untuk diberikan pada seseorang.”

”Yang dicintai mestinya.”

”Ya. Jelas!”

”Sebaiknya, Bapak tambahkan ucapannya. Bunga ini saya rangkai untuk diantar dengan ucapan. Diambil dari puisi siapa begitu yang terkenal. Misalnya Kahlil Gibran.”

Aku terpesona lalu mengangguk.

”Setuju. Tapi tolong dicarikan puisinya dan sekaligus dituliskan.”

Ia cepat ke belakang mejanya mengambil kartu.

”Sebaiknya Bapak saja yang menulis.”

”Tidak. Kamu.”

Ia tersenyum lagi mungkin merasa lucu. Lalu menyodorkan sebuah buku kumpulan sajak. Aku menolak.

”Kamu saja yang memilih.”

”Tapi, saya tidak tahu yang mana untuk siapa dulu.”

”Pokoknya yang bagus. Yang positip.”

”Cinta, persahabatan, atau sayang?”

”Semuanya.”

Ia tertawa. Lalu menulis. Tampaknya ia sudah hapal di luar kepala isi buku itu. Ketika ia menunjukkan tulisannya, aku terhenyak. Itu bukan sajak Gibran, tapi kalimat yang ditarik dari sajak Di Beranda Itu Angin Tak Berembus Lagi karya Goenawan Mohamad:

”Bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata.”

Aku terharu. Pantas Nelson Mandela mengaku mendapat inspirasi untuk bertahan selama 26 tahun di penjara Robben karena puisi.

”Bagus?”

Aku tiba-tiba tak sanggup menahan haru. Air mataku menetes dengan sangat memalukan. Cepat-cepat kuhapus.

”Saya juga sering menangis membacanya, Pak.”

”Ya?”

”Ya. Tapi sebaiknya Bapak tandatangani sekarang, nanti lupa.”

Aku menggeleng. Aku kembalikan kartu itu kepadanya.

”Kamu saja yang tanda tangan.”

”Kenapa saya?”

”Kan kamu yang tadi menulis.”

”Tapi itu untuk Bapak.”

”Ya memang.”

Ia bingung.

”Kamu tidak mau menandatangani apa yang sudah kamu tulis?”

”Tapi, saya menulis itu untuk Bapak.”

”Makanya!”

Ia kembali bingung.

”Kamu tak mau mengucapkan selamat ulang tahun buat aku?”

Dia bengong.

”Aku memang tak pantas diberi ucapan selamat.”

”Jadi, bunga ini untuk Bapak?”

”Ya.”

”Bapak membelinya untuk Bapak sendiri?”

”Ya. Apa salahnya?”

”Bapak yang ulang tahun?”

”Ya.”

Dia menatapku tak percaya.

”Kenapa?”

”Mestinya mereka yang yang mengirimkan bunga untuk Bapak.”

”Mereka siapa?”

”Ya, keluarga Bapak. Teman-teman Bapak. Anak Bapak, istri Bapak, atau pacar Bapak…”

”Mereka terlalu sibuk.”

”Mengucapkan selamat tidak pernah mengganggu kesibukan.”

”Tapi itu kenyataannya. Jadi aku beli bunga untuk diriku sendiri dan ucapkan selamat untuk diriku sendiri karena kau juga tidak mau!”

Aku ambil uangku dan letakkan lebih dekat ke jangkauannya. Lalu aku ambil bunga itu.

”Terima kasih. Baru sekali ini aku ketemu bunga yang harganya 900 ribu.”

Aku tersenyum untuk meyakinkan dia bahwa aku tak marah. Percakapan kami tadi terlalu indah. Bunga itu hanya bonusnya. Aku sudah mendapat hadiah ulang tahun yang lain dari yang lain.

Tapi sebelum aku keluar pintu toko, dia menyusul.

”Ini uang Bapak,” katanya memasukkan uang ke kantung bajuku sambil meraih bunga dari tanganku, ”Bapak simpan saja.”

”Kenapa? Kan sudah aku beli?”

Aku raih bunga itu lagi, tapi dia mengelak.

”Tidak perlu dibeli. Ini hadiah dariku untuk Bapak. Dan aku mau ngantar Bapak pulang. Tunjukkan saja jalannya. Itu mobilku.”

Dia menunjuk ke sebuah Ferrari merah yang seperti nyengir di depan toko.

”Aku pemilik toko ini.”

Aku terkejut. Sejak itulah hidupku berubah.

Jakarta, 30 Juni 2011
More aboutBERSIAP KECEWA BERSEDIH TANPA KATA-KATA

LAILA

Posted by Admin on Tuesday, October 12, 2010

Menangis tidak selamanya tanda kelemahan. Tapi istri saya tidak bisa menafsirkan lain, ketika melihat kucur air mata Laila.

”Ada apa lagi Laila,” tanya istri saya. ”Kok nangis seperti sinetron, kapan habisnya?”

Tangis Laila bukannya berhenti, malah tambah menjadi-jadi. Saya cepat memberi kode rahasia supaya interogasi itu jangan dilanjutkan. Besar kemungkinan, itu taktik minta gaji naik.

”Laila itu bukan jenis pembantu murahan yang mata duitan. Dia orang Jawa yang tahu diri, memangnya kamu!” bentak istri saya, sambil menarik Laila bicara empat mata.

”Dia punya konflik,” kata istri saya kemudian. ”Suaminya kurang ajar. Masak memaksa Laila banting tulang, tapi dianya ngurus anak ogah! Primitif banget! Laki-laki apa itu? Giliran anaknya kena DB dibiarin saja. Coba kalau sampai mati bagaimana? Pasti si Laila lagi yang disalahin! Memangnya perempuan WC untuk nampung kotoran?!”

”Terlalu!”

”Sekarang si Romeo nyuruh Laila berhenti lagi!”

”Berhenti?”

”Ya! Apa nggak gila?! Kalau Laila tidak kerja mau ngasih makan apa si Arjuna?”

”Kali Laila dapat kerjaan baru.”

”Mana ada orang mau menerima pembantu yang tiap sebentar pulang, karena anaknya nangis!”

”Jadi Laila akan berhenti?”

”Tidak! Biar Laila bawa Arjuna kemari, jadi kerjanya tenang.”

”Boleh sama si Romeo?”

”Memang itu yang dia mau!”

Saya menarik nafas. Sejak itu, Arjuna yang baru lima tahun itu jadi bagian dari rumah kami. Kalau dia nangis, sementara ibunya memasak, sedangkan istri saya sibuk, itu tanggung jawab saya.

Mula-mula berat. Tapi kemudian terjalin persahabatan indah antara saya dan Arjuna. Saya bahkan merasa tersanjung ketika Arjuna memanggil saya Pakde.

Sudah 11 tahun saya dan istri merindukan anak. Kami sudah capek menjalani nasehat dokter. Akhirnya kami ambil kesimpulan, tugas manusia memang beda-beda. Kami mungkin bukan mesin reproduksi manusia.

Kehadiran Arjuna membuat rumah berubah. Kelucuan bahkan kebandelan Arjuna menyulap tiap hari jadi beda. Sampai-sampai istri saya memanggilnya si Buah Hati.

Tapi pulang dari mudik, saya terkejut. Di dapur terdengar suara ketawa beberapa orang anak. Ternyata di situ ada lima bocah hampir seusia Arjuna sedang main petak umpet. Mereka sama sekali tidak takut oleh kehadiran saya.

”Itu anak-anak pembantu-pembantu sebelah.”

”O ya?”

”Ya, orangtuanya juga sibuk kerja, jadi anaknya tidak ada yang ngurus. Daripada mereka jadi gelandangan atau korban narkoba, aku suruh saja main di sini nemani si Buah Hati,” kata istri saya.

Mula-mula saya keberatan. Satu anak tertawa dalam rumah, memang lucu. Tapi enam orang, saya akan kehilangan privasi.

Ketika saya sedang bekerja di meja, semuanya seliwar-seliwer di depan pintu. Kalau saya menoleh mereka mencelup. Punggung saya terasa gatal ditancapi tatapan. Saya kira mereka mulai kurang-ajar.

”Kamu frustrasi!” komentar istri saya sambil tertawa,

”Persis!”

”Karena kamu kurang peka!”

Saya berpikir. Istri saya terus ketawa.

”Kamu tidak peka. Anak-anak itu tahu kamu baru kembali dari mudik. Mereka menunggu.”

”Menunggu apa?”

”Biasanya kalau pulang mudik orang bawa oleh-oleh.”

”Aku bawa untuk Arjuna, bukan untuk mereka!”

”Mereka semua anak-anak. Kamu harus berikan sesuatu kepada semuanya.”

Istri saya mengulurkan sebuah kantung plastik yang penuh coklat.

”Bagikan ini pada mereka!”

Saya takjub, tapi tak bisa menolak.

Sejak peristiwa itu, rumah saya seperti penitipan anak. Kerap ibu-ibu tetangga karena keperluan yang mendesak menitipkan anak di rumah kami. Anaknya pun senang bahkan mereka menganjurkan agar dirinya dititipkan.

Untung saya cepat membiasakan diri. Apalagi keadaan itu membuat gengsi kami naik. Istri saya menjadi popular. Saya sering dipuji sebagai lelaki sejati.

Tetapi kemudian Laila kembali menangis.

”Si Romeo bertingkah lagi!” umpat istri saya setelah mengusut Laila, ”bayangkan, masak dia minta dibelikan motor!”

”Motor? Emang mau ngojek.”

”Boro-boro ngojek, naik motor juga nabrak melulu!”

”Terus untuk apa?”

”Menurut Laila itu mau disewakan Romeo pada tukang ojek. Laila minta gajinya setengah tahun di bayar di muka.”

”Kamu tolak kan?!”

”Gimana ditolak? Laila diancam akan digebukin kalau tidak berhasil.”

Saya jadi penasaran. Lalu saya mencecer Laila.

”Laila, cinta itu tidak buta. Kalau suami kamu terus dituruti, kepala kamu bisa diinjaknya. Suami pengangguran yang mengancam dibelikan motor oleh istri itu bukan saja menginjak, tapi itu sudah explotation de l’home par l’home tahu?!”

”Ya Pak.”

”Kamu mengerti?”

”Mengerti, Pak.”

”Suami yang baik boleh dihormati, tapi yang jahat tendang!”

Laila tunduk dan mulai menangis.

”Kamu kok cinta mati sama si Romeo, kenapa? Jangan-jangan kamu sudah kena pelet!”

”Saya hanya mau berbakti kepada suami, Pak!”

”Itu bukan berbakti, tapi sudah bunuh diri!”

”Orangtua saya selalu berpesan, suami itu guru, Pak. Kata Ibu saya, tidak boleh membantah kata suami, nanti tidak bisa masuk surga!”

”Tapi kelakuan si Romeo kamu itu sudah melanggar HAM!”

Laila menunduk dan meneruskan menangis. Hanya motor yang bisa menyetop air matanya. Terpaksa saya mondar-mandir ke sana ke mari untuk mencari info motor bekas. Beruntunglah salah satu satpam bangkrut karena kalah berjudi. Dia jual murah motornya. Langsung saya bayar, daripada kehilangan Laila.

”Ah?! Ngapain mesti peduli semua permintaan Laila,” kata istri saya marah-marah, ”Kalau kamu manjakan dia begitu, sebentar lagi dia akan menginjak kepala kita! Pembantu itu jangan dikasih hati. Kalau dia mau berhenti, biarin. Kita cari yang lain!”

Tapi kemudian istri saya sendiri yang menyerahkan kunci motor bekas itu kepada Laila.

”Ini motornya, Laila. Cicil berapa saja tiap bulan, asal kamu jangan keluar!”

Laila mencium tangan istri saya dengan terharu. Saya juga mendapat perlakuan manis. Laila kelihatan sangat bahagia. Sambil nyuci ia menyenandungkan lagu Nike Ardila.

Tapi itu hanya berlangsung sebulan.

”Si Romeo itu memang kurang ajar!” teriak istri saya kemudian, ”Motor sudah digadaikan lagi, katanya nggak ada yang doyan nyewa motor bekas!”

Saya bengong. Dengan mata berkaca-kaca Laila minta maaf. Katanya, suaminya diancam akan dibunuh kalau tidak melunasi hutangnya setelah kalah taruhan bola.

Istri saya mencak-mencak. Tapi kemudian ia mendesak saya menebus motor itu dengan janji, Romeo dilarang menyentuhnya.

”Kamu saja yang boleh naik motor itu Laila! Yang lain-lain, haram!”

Sejak itu Laila masuk kerja menunggang motor. Mobilitasnya lebih rapih. Dia selalu datang tepat waktu. Anaknya bangga sekali duduk di boncengan. Meski para pembantu lain keki, menganggap nasib Laila terlalu bagus, tidak kami pedulikan. Yang penting, Laila tetap setia di posnya.

”PRT seperti Laila memang perlu punya motor, supaya tenaganya tidak terkuras di jalanan. Motor itu bukan untuk dia, tetapi untuk kepentingan kami juga,” kata istri saya kepada ibu-ibu tetangga.

Tak terduga argumen itu patah, ketika pada suatu hari Laila muncul tanpa motor. Hari pertama saya diam saja. Pada hari ketiga saya tidak kuat melihat dia pulang menggendong Arjuna sambil menenteng tas besar.

”Motor kamu mana, Laila?”

”Dipakai saudara misan saya, si Neli, Pak.”

”Kenapa?”

”Kerjanya lebih jauh, Pak.”

”Kenapa dia tidak naik angkot saja?”

”Nggak boleh sama suami saya, Pak.”

Saya bingung. Kemudian saya baru tahu, Neli saudara misan Laila sekarang tinggal bersama Laila satu rumah.

”Itu motor kamu Laila, tidak boleh dipakai orang lain!”

”Tapi suami saya bilang begitu, Pak. Saya harus mengalah sebab di pabrik tempat Neli kerja aturannya keras. Kalau datang telat bisa dipecat.”

”Kamu juga harus tepat waktu sampai di sini, Laila!”

”Betul, Pak.”

”Ambil motor itu kembali!!!!!!”

Besoknya Laila masuk kerja tepat waktu. Tapi dia naik ojek. Saya marah.

”Maksudku kamu tidak hanya datang tepat waktu, tapi harus pakai motor kamu! Kalau kamu datang ke mari naik ojek, lebih baik jangan kerja!”

Laila bingung. Dia tidak mengerti apa maksud saya. Istri saya mencoba menjelaskan. Tapi bukan menjelaskan kepada Laila, dia justru menerangkan kepada saya.

”Laila tidak berani minta motor itu karena takut digampar si Romeo.”

Saya bingung.

”Kenapa bangsat itu malah ngurus misannya, bukan istrinya?”

”Sebab misan Laila itu perempuan !”

”Gila! Istrinya juga perempuan!”

”Tapi perempuan itu lebih muda! Dan Romeo sudah mau menikahi si Neli!”

Saya megap-megap.

”Ya Tuhan! Kenapa Laila nerima saja dikadalin begitu?

Istri saya hanya mengangguk.

”Sekarang memang banyak orang gila!”

Langsung saya interogasi Laila di dapur.

”Kenapa kamu terus mengalah Laila? Suami kamu sudah kurang ajar. Jangankan mau menikahi misanmu, mengancam kamu membelikan pacarnya motor saja, sudah zolim! Kenapa?”

Laila tak menjawab.

”Kamu takut? Kalau perlu aku bantu kamu mengadu kepada LBH. Orang macam Romeo itu, maaf, bajingan. Dia harus dihajar supaya menghormati perempuan!”

Laila diam saja.

”Itu namanya kamu sudah kena pelet! Kamu yang cantik begini pantasnya sudah lama menendang Romeo. Apa kamu tidak sadar?!”

”Ya, Pak.”

”Kalau sadar kenapa tidak bertindak?”

”Saya ingin berbakti pada suami, Pak!”

”Itu bukan berbakti, tapi menghamba! Diperbudak! Dijadikan kambing congek si Romeo asu itu, tahu!?”

”Ya, Pak!”

”Ya apa?”

”Kata orangtua saya, sebagai istri saya mesti menghormati suami, saya tidak boleh membantah kata suami. Hanya orang yang baik dan sabar yang akan bisa masuk surga.”

”Kalau orangtua kamu masih hidup, dia tidak akan rela kamu disiksa begini?! Kamu ini cantik Laila!”

Mendengar dua kali menyebut kata cantik, istri saya muncul. Saya diberi isyarat supaya minggir. Lalu dia bicara dari hati ke hati dengan Laila. Entah apa yang mereka bicarakan. Tapi kemudian saya lihat dari jauh, Laila menghapus air matanya.

”Kita tidak bisa kehilangan Laila,” kata istri saya kemudian.

”Lho, memangnya dia minta berhenti?”

”Dia tidak bisa merebut motor itu dari si Neli.”

”Tapi itu kan haknya!”

”Kita tidak bisa memaksakan jalan pikiran kita ke otaknya. Tidak. Pokoknya tidak bisa.”

”Harus! Kita berkewajibkan mengajarkan dia berpikir logis!”

”Kalau terlalu didesak, bisa-bisa dia minta berhenti.”

”O ya, Laila bilang begitu?”

”Dia tidak bilang begitu, tapi pasti akan begitu.”

”Kenapa dia begitu ketakutan?”

”Sebab Neli sudah dikawini Romeo!”

Saya terpesona. Lama saya mencoba menghayati bagaimana perempuan yang secantik Laila bisa dikuasai Romeo tak beradab itu. Saya tak akan pernah bisa mengerti.

Sementara terus-terang, kami sangat bergantung pada Laila. Kalau dia tidak ada, rumah akan berantakan.

”Kita tidak mungkin kehilangan Laila,” kata istri saya.

”Tapi dia tidak boleh dibiarkan masuk kerja terlambat terus.”

”Karena itu dia harus punya motor!”

Saya tak menjawab. Istri saya yang harus menjawab. Jawabannya agak tidak masuk akal. Laila dibelikan motor baru. Laila tersenyum sambil meneteskan air mata haru mendengar keputusan itu. Arjuna juga tertawa.

Motor kedua Laila langsung dari dealer. Bodinya mulus, suaranya halus dan tarikannya kuat. Laila dan Arjuna selalu datang tepat waktu. Saya dan istri puas, merasa keputusan kami tepat.

Tapi tak sampai satu bulan, tiba-tiba Laila muncul kembali dengan motor bututnya yang lama. Waktu kedatangannya memang tepat. Wajahnya juga tidak berubah. Ia tetap cantik dan ceria. Hanya Arjuna yang kelihatan rewel. Dan istri saya ngamuk.

Tidak pakai pendahuluan lagi, Laila langsung digebrak.

”Laila, Ibu sudah bosan bicara! Kalau kamu masih saja datang pakai motor busuk ini, tidak usah kembali! Pulang! Ibu beli motor baru untuk kamu dan Arjuna bukan untuk lelaki hidung belang itu! Kalau motor itu dipakai oleh orang lain, kamu berhenti saja kerja sekarang! Kembalikan motor kamu!”

Laila gemetar. Saya pun tersirap. Belum pernah istri saya marah seperti itu. Tanpa berani membantah lagi. Laila menaikkan lagi Arjuna yang sudah turun dari motor, lalu segera pergi. Saya lihat mukanya pucat pasi.

Saya kira perempuan itu tidak akan pernah kembali lagi. Tapi saya keliru. Besoknya, terdengar suara motor yang halus masuk ke halaman. Saya cepat keluar dan kaget melihat Laila dengan motor barunya. Arjuna tertawa senang. Laila mengangguk dan menyapa saya dengan sopan.

”Laila kembali, tapi mungkin untuk pamit pergi,” bisik saya.

Istri saya menjawab acuh tak acuh.

”Sudah waktunya dia menghargai dirinya sendiri!”

Hari berikutnya, seminggu, sebulan dan seterusnya, Laila tetap bekerja. Ia selalu datang tepat waktu. Lewat dengan anak dan motor baru, memasuki halaman rumah kami ia kelihatan tegar. Tidak pernah menangis lagi. Rupanya terapi kejut dari istri saya sudah membuatnya menjadi orang lain.

Tapi kalau diperhatikan ada sesuatu yang hilang. Laila tidak pernah lagi menggumamkan lagu Nike Ardila. Kadang-kadang dia termenung dan kelihatan hampa.

Ketika gajinya dinaikkan, Laila tersenyum, mencium tangan istri saya, tapi tidak lagi meneteskan air mata. Saya jadi penasaran.

”Laila, kenapa kamu kelihatan tidak terlalu gembira?”

”Saya gembira gaji saya dinaikkan Ibu, terima kasih, Pak.”

”Kamu naik motor mulus yang membuat iri orang-orang lain. Anak kamu senang dan sehat. Saya dengar saudara misan kamu sudah tidak di rumah kamu lagi. Suami kamu juga sudah tidak berani lagi memukul dan berbuat semena-mena. Betul?”

”Betuk, Pak.”

”Tapi kenapa kamu kelihatan susah?”

Laila menunduk.

”Kenapa kamu sedih?”

”Ya, Pak, karena sekarang saya tidak akan bisa masuk surga.”

Jakarta, 12 Oktober 09
More aboutLAILA

MACAN LAPAR

Posted by Admin on Thursday, June 10, 2010

Ketika saya membaca SMS dari sahabat saya William John dari California bahwa ia akan datang ke Solo untuk mencari Putri Solo yang gaya berjalannya seperti Macan Lapar, saya terbahak. Ketika ia melanjutkan SMS-nya bahwa jika ia tidak menemukan seorang Putri Solo yang Macan Lapar itu, dalam bahasa Jawa: Macan Luwe, berarti saya menyembunyikannya. Lagi-lagi saya terbahak.

Sebaliknya saya mengancam, jika ia main-main saja dengan Putri Solo, misalnya mengajaknya kumpul kebo, saya akan melaporkannya ke Presiden Obama. Ternyata John berani bersumpah bahwa ia serius akan menikahi Putri Solo yang Macan Lapar itu dan memboyongnya ke Amerika. Anak keturunannya kelak, janji John, merupakan masyarakat baru Amerika yang akan mendatangkan berkah. Saya menyambutnya dengan mengucap amin, amin, amin. Okey, jawab saya. Insya Allah, John, saya akan membantumu untuk menemukan Putri Solo si Macan Lapar itu.

John adalah seorang arkeolog. Perkenalannya dengan dunia Timur ketika ia melancong ke Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk memelototi candi-candi. Waktu itu ia masih berusia 23 tahun, sedang giat-giatnya menjaring ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya. Candi Borobudur sudah tentu, Prambanan, Mendut, Sukuh, Panataran, semuanya, sudah pindah ke benaknya. Tentu banyak lagi. Setelah John menjadi profesor di usia 25, ia sadar bahwa tak ada gunanya seorang profesor yang jomblo. Ia merasa sangat kesepian. John sebenarnya sudah menjalin hubungan dengan sejumlah mahasiswinya. Tapi semuanya menolak untuk dinikahi, yang membuat John uring-uringan.

Menurut John, masa bahagia adalah ketika kuliah di Solo, ia menginap di rumah saya di bilangan Notosuman, bertetangga dengan kedai Srabi Notosuman yang termasyhur itu. Bagaimana ia tidak berbahagia, segalanya tersedia dengan gampang. Tidak seperti di Amerika yang segalanya harus ia lakukan sendiri, di Solo jika lapar bisa langsung makan, bila pengin ngopi tinggal pesan, bila pakaian kotor tinggal dilemparkan. Jika nonton pertunjukan, pergi kuliah, maupun piknik, cukup dengan naik sepeda.

Di universitasnya, UCLA, John berkenalan dengan Eko, seorang penari dari Solo yang sedang melakukan tur ke 30 universitas Amerika untuk menari. Eko menyarankan supaya John menikah dengan gadis Solo saja. Di samping gemi, nastiti, ngati-ati (irit, terperinci, berhati-hati), putri Solo gaya berjalannya persis macan lapar yang bisa membekukan waktu.

Tetapi, menurut Fafa Dyah Kusumaning Ayu, seorang DJ yang menjelma sejarawan yang mbaurekso (mengayomi) kota Solo, putri Solo yang gaya berjalannya persis macan lapar itu sudah tidak ada lagi. Menurut dia, dari satu artikel yang dibacanya, putri Solo yang demikian, yang terakhir terlihat di zaman penjajahan Jepang, yaitu di tahun 40-an. Mendengar ini, Eko dari Boston kirim SMS: Fafa, lo jangan bikin John pesimistis. Fafa pun menjawab: Eko, lo jangan mengada-ada.

Di bandara Adi Sumarmo, Solo, saya dan anak-anak, Ning, Nong, dan Nug, menjemput John yang datang lewat Bali. Di rumah, ibunya anak-anak menyiapkan nasi goreng ikan asin kesukaan John. Ia tinggal di rumah penginapan penduduk yang banyak bertebaran di kampung-kampung. Serta-merta ia diminta mengajar di ISI (Institut Seni Indonesia) untuk mata pelajaran arkeologi budaya.

Menurut Fafa, gaya berjalan Macan Lapar adalah gaya berjalan yang bertumpu pada pinggul dan pundak. Jika melangkah, sebagaimana orang berjalan, pinggul kanan berkelok muncul keluar dari garis tubuh, maka pundak kiri lunglai ke depan. Begitu bergantian, pinggul kiri mencuat, pundak kanan lunglai ke depan. Irama ini dalam paduan langkah yang pelan. Gaya berjalan begini akhirnya diadopsi oleh para art director fashion show menjadi gaya berjalan yang kita kenal sekarang oleh para peragawati di seluruh dunia di atas cat-walk. Megal-megol-nya para peragawati Eropa, Amerika, maupun Asia, menurut Fafa sangat teknis. Hal itu tampak ketika para peragawati sudah tidak di atas cat-walk lagi, mereka ternyata berjalan biasa saja, sebagaimana orang-orang biasa berjalan. Artinya, megal-megol mereka di atas cat-walk belum merupakan kekayaan budaya fashion show. Padahal macan laparnya putri Solo itu tulen, alamiah, menyatu dengan tubuh yang hidup dalam budaya tradisinya. Meski cuma berjalan di dalam rumahnya, gaya berjalan Putri Solo tetap persis macan lapar. Sehingga Putri Solo jauh lebih gandes, luwes, kewes, dan sensuous.

Pada suatu hari di siang yang panas, ketika saya dan Nug selesai jumatan di Masjid Gede, lalu bergabung dengan Ning, Nong, dan ibunya anak-anak untuk menikmati tengkleng, semacam sop tetelan daging sapi atau kambing khas Solo di gerbang Pasar Klewer, tiba-tiba menghambur John di sela kerumunan orang yang antre tengkleng, sambil berkata mantap:

”Saya sudah dapat si Macan Lapar.”

”Alhamdulillah,” sahut saya.

Lepas ashar di gerbang Keraton Susuhunan, sejumlah orang berkumpul: John, Fafa, mas Rahayu Supanggah (komponis), mas Modrik Sangidu (aktivis), Sadra (komponis), Slamet Gundono (dalang), Suprapto Suryodarmo (guru spiritual), dan pak Jokowi (wali kota Solo) sedang berharap-harap cemas sambil mencereng menatap jalanan. Kami semua diundang John untuk menerima kejutan.

Mendadak muncul seorang gadis yang berpakaian lengkap mengesankan seorang penari. Kami terperangah melihat gaya jalannya yang Macan Lapar. Ketika pinggul kanan mencuat ke samping, pundak kanan tertarik ke belakang, sedang pundak kiri mencuat ke depan. Begitu bergantian. Sungguh cara berjalan yang menggetarkan. Langkah yang pelan, yang pasti, yang terkonsentrasi penuh. Namun gaya ini—sekali lagi–tulen. Gadis itu melenggang ke pintu masuk keraton ketika tiba-tiba John meloncat mengejarnya. Fafa mencoba menahan John. Saya dan Modrik serta pak Jokowi ikut berlari mengejar. Prapto, Sadra, dan Panggah terbahak. Gundono berteriak dan tertawa, ”Kejar! Kejar!” sambil mencakar cukelelenya keras-keras membangun ketegangan.

Ketika John mencapai teras keraton, kami melihat pemandangan yang mengerikan: John jadi Cleret Gombel! Menyaksikan John yang bermetamorfosis jadi sebangsa bunglon yang bisa terbang itu, gadis yang dikejar itu berteriak-teriak ketakutan lalu meloncat ke dalam ke halaman dalam keraton. Kami berloncatan meringkus John si Cleret Gombel. Saya dan pak Jokowi terlempar. Fafa menjerit karena si Cleret Gombel menggeram sambil memperlihatkan taringnya. Mas Modrik yang persis Samson itu dengan kuat meringkus John hingga roboh. John terus meronta menggeram-geram sambil unjuk taringnya yang putih berkilat. Kemudian dengan mobil hardtop mas Modrik, ramai-ramai John kami serahkan kepada pak Oei Hong Djien, guru spiritual yang khusus menangani keseimbangan pikiran dan perasaan, dari komunitas kebatinan Sumarah. Kami sepakat membantu John untuk melamar penari Macan Lapar itu yang kemudian ketahuan namanya Intan Paramaditha.

Belakangan pak Jokowi melakukan rapat maraton dengan para budayawan Solo untuk membahas tentang rencananya melakukan revitalisasi gaya melenggok ala Macan Lapar ini. Kota Solo diyakini menjadi satu-satunya kota di dunia yang punya gaya berjalan putri-putrinya yang elegan itu. *****

Kota Tangerang Selatan, 10 Juni 2010
More aboutMACAN LAPAR

AYAH PULANG

Posted by Admin on Friday, January 26, 2007

Mak Yem meneleponku malam ini, “Tadi siang, Ayah kena serangan jantung lagi, sekarang dirawat di rumah sakit. Nana, sebaiknya kau pulang, tengok ayahmu.”

“Saya besok masih ada pekerjaan, mengapa tidak Yu Ning saja?”

“Mbakmu bilang, Naya (anaknya) sebulan lagi akan ikut ujian SMP. Jadi, dia akan mengirimi kamu uang, agar bisa pulang melihat ayahmu.”

“Bagaimana sakitnya, apa cukup parah?”

“Mbak Nana, tanyakan hal itu ke dokter Hariadi.”

Ketika telepon dari Mak Yem ditutup, ponselku berdering dari Yu Ning, “Aku sudah mengirim uang untuk tiket pesawat ke rekeningmu. Cek saja dulu. Bilang pada Ayah, aku akan datang setelah Naya selesai ujian.”

“Mbak, aku besok ada presentasi, mengapa tidak sampeyan saja?”

“Sudah kubilang aku mesti menunggui Naya. Butikku besok akan didatangi pelanggan kami dari Malaysia. Sekarang, carilah tiket untuk keberangkatanmu, besok pagi.”

Aku benci mendengar ucapan Yu Ning, dia selalu bisa menyuruhku apa saja. Itu dilakukan sejak kami masih kecil. (Ibu meninggal sejak kami masih sangat kecil). Yu Ning, yang jarak usianya 10 tahun di atasku, diberi keleluasaan oleh ayah, untuk mengatur semua hidupku. Kalau menurut Yu Ning aku harus begitu, aku tidak boleh membantah. Yu Ning jadi narasumber hidupku. Hanya dibantu dengan Mak Yem, dia mengatur segala urusan rumah tangga kami. Aku selalu benci terhadap apa saja yang dia punyai. Yang aku banggakan, cuma tinggi badanku yang lebih darinya. Hanya itu memang! Di sisi lain, aku sekarang cuma dosen di sebuah perguruan tinggi swasta yang bukan unggulan. Begitu pula suamiku, Haryo, teman sejawat di perguruan tinggi swasta ini.

Bisa dibayangkan, kami tidak punya hak istimewa di kota metropolis, Jakarta. Pernah suatu kali, Yu Ning sekeluarga mengajak kami ke Singapura. Tetapi, aku tidak nyaman. Karena mereka menganggap, susah bepergian dengan perempuan dusun, yang tidak tahu bagaimana caranya berada di sebuah kota metropolis, Singapura.

Sungguh, sejak dulu aku merasa, Ayah lebih mencintai Yu Ning, sekalipun Ayah selalu bilang, “Kalian berdua adalah harta yang tak ternilai bagiku. Aku kasihan dengan Mbakmu, sejak kecil harus berperan sebagai ibu kita.”

Aku sekali lagi benci dengan ucapan Ayah. Aku kira baik Yu Ning maupun aku, punya kesempatan yang sama, untuk belajar, bermain, bahkan kurasa Yu Ning lebih punya kesempatan untuk jalan-jalan dengan pacarnya. Sedangkan diriku, mereka menganggap terlampau muda untuk memahami, siapa lelaki yang musang berbulu domba.

Sedang Yu Ning bisa berlena-lena dengan pacarnya sampai larut malam. Sering aku merasa Upik Abu, yang diasuh ibu tiri. Tapi, semuanya memang berjalan seperti direncanakan mereka. Setelah lulus dari fakultas teknik arsitektur, Yu Ning menikah dengan dr Tomo. Selang beberapa tahun bekerja di perusahaan asing, Yu Ning membuka butik yang lumayan laku. Aku memang jadi orang yang pas-pasan saja. Karena memang aku dan Haryo, tidak memiliki keterampilan berbisnis. Padahal, Yu Ning sudah menganjurkan Haryo, untuk berbisnis. Hal itu pernah kami lakukan, jangankan menjadi besar, modal yang dipinjamkan Yu Ning, tidak bisa kembali. Sampai sekarang, aku masih berutang sekian juta kepada Yu Ning. Untungnya sampai tahun kedua pernikahan, kami belum dikaruniai anak. Kalau kami punya anak, kami akan semakin repot. Karena Yu Ning bilang, punya anak harus punya uang sekian juta untuk baby sitter yang pintar, susu, dan lain-lainnya. Aku merasa tidak bisa membiayai semua itu. Namun, Haryo bilang, “Kita tidak perlu khawatir, setiap anak punya rezeki sendiri. Apakah tidak sebaiknya sekarang saja kita periksakan diri ke dokter demi seorang bayi, yang kita impikan bersama….”

Aku selalu gamang untuk pergi ke dokter spesialis kandungan.

Tiba-tiba ada telepon lagi dari Mak Yem. “Nana, hatiku kok tidak enak, apakah kau besok bisa pulang? Sekalipun, ayahmu sudah ketiga kalinya dalam tahun ini, masuk rumah sakit.”

Nada suara Mak Yem, sepertinya, aku ini anak yang tidak bisa berbakti. Yah, sampai jam ini aku belum juga mencari tiket untuk pesawat. Padahal, travel pasti sudah tutup jam sembilan malam ini. Seperti yang aku duga, untuk penerbangan paling pagi sudah habis semua. Yang ada dari salah satu biro perjalanan, tiket penerbangan untuk yang paling malam. Aku harus mempertimbangkan secepatnya, karena ada banyak peminat untuk pulang ke Malang, tidak melewati daerah Sidoarjo, yang penuh lumpur Lapindo itu. Aku tidak punya pilihan lain. Aku SMS saja Yu Ning, aku katakan, cuma dapat tiket pesawat dengan penerbangan paling akhir. Yu Ning segera meneleponku, “Sudah kukatakan, mengapa tidak menghubungi biro travel langgananku, pasti kau dapatkan tiket itu. Aku mengkhawatirkan Ayah. Oya, aku sudah transfer ke ATM-mu lagi, uang untuk biaya pengobatan Ayah. Coba kamu hubungi lagi biro perjalanan langgananku itu. Bilang yang pesan tiket ini ibu Ning Tomo.”

Dengan malas kuhubungi biro travel langganan Yu Ning. Entah mengapa aku tidak kecewa. Karena yang tinggal cuma satu tiket penerbangan malam. Itu pun dengan harga yang sangat mahal. Sekali lagi aku SMS Yu Ning, dia tidak menjawab. Pasti dia sangat marah. Kalau bertemu Ayah, dia pasti akan bilang begini, “Nana lambat dalam segala hal. Padahal apa sih kerjanya. Masak mengajar saja menghabiskan waktu. Paling-paling sehari cuma dua jam.”

Urusan tiket selesai. Aku mencoba menghubungi ketua jurusan. Dia menganjurkan untuk tidak terlampau lama mengambil cuti, karena akan ada pergantian rektor dalam minggu-minggu ini. Setelah menata barang-barangku di koper, aku mencoba tidur. Haryo, di sebelahku sudah tidur sekian jam yang lampau. Tiba-tiba aku merasa marah, sepertinya tidak ada seorang pun yang mau menolongku pada saat ini. Sudah hampir jam satu malam, ketakutan menyerangku, aku ingin menelepon ke rumah, tapi, kupastikan Mak Yem sedang menunggu Ayah di rumah sakit. Tiba-tiba, aku merasa bersalah, ini sebuah egoisme. Aku dan Yu Ning mengejar karier dan selalu lupa kalau masih punya ayah yang harus kami perhatikan. Selalu lupa menelepon beliau hanya untuk mengucapkan, “Hallo”. Padahal, sebelum keberangkatanku ke Jakarta, Ayah bilang, “Kalian berdua memilih karier di Jakarta. Tak seorang pun memang ingin bersama laki-laki tua sepertiku. Aku tahu tidak ada yang harus disalahkan, setiap anak pasti mencari sarangnya yang baru. Tapi, sesekali teleponlah aku. Itu sudah lebih dari cukup.”

Waktu itu, aku menangis. Tapi, kemudian kesibukan kerjaku, kesibukanku berkumpul dengan teman-teman, jalan-jalan, dan banyak hal lain yang membuat aku hampir tidak punya waktu untuk berkata, “Hallo”, pada Ayah. Itu bisa dilakukan oleh Yu Ning terhadap Ayah. Aku tidak tahu, sepertinya Yu Ning punya waktu lebih dari 24 jam. Dan sering sekali Yu Ning mengingatkan aku untuk menelepon Ayah. Aku selalu malas untuk berdebat. Jadi, kukatakan saja aku sudah menelepon Ayah. Karena aku begitu yakin, kalau ditanyakan ke Ayah, ia pasti akan mengiyakan omonganku. Kadang-kadang memang Ayah melindungi aku dari kebesaran Yu Ning. Bisa jadi, beliau kasihan pada si bungsu yang ketemu dengan ibunya hanya di tahun pertama dalam kehidupannya. Dan tentang Ibu, aku tidak pernah mendengarkan ceritanya dari Ayah. Mak Yem yang sering bercerita, bahwa sejak kecil memang Ibu sering sakit-sakitan. Ayah sangat mencintainya, lebih dari itu, Ibu lebih mirip Yu Ning daripada aku. Waktu kecil, kalau aku sedih, sering kali tanpa sebab yang jelas, menangis di muka foto Ibu. Aku merasa kalau beliau masih hidup, kita bisa menjadi teman yang baik. Bagaimana hubunganku dengan Ayah? Dia dosen sejarah, pintar, persis seperti Yu Ning. Yu Ning, mengambil semuanya dari sisi Ayah, tanpa sisa.

Aku memang harus pulang besok. Bukan untuk diriku sendiri, tapi juga untuk sebuah kewajiban sosial keluarga, yang aku tahu tidak terlampau kusukai. Aku selalu merasa sedih, kalau Ayah dirawat di rumah sakit. Aku merasa bersalah. Sering sekali aku menangis untuk semua kesalahanku itu. Aku selalu bilang pada Haryo, “Bagaimana caranya menjadi anak yang baik untuk seorang ayah?” Haryo selalu bilang, “Kita tidak tahu dengan tepat, kau sendiri pernah bilang kalau tidak begitu dekat dengan beliau. Barangkali ini yang paling baik, menjaga beliau di rumah sakit dan menuruti semua kemauannya.”

Aku menganggukkan kepala. Kalau sakit, Ayah bukan seorang yang mudah, cerewetnya luar biasa! Tapi aneh, kalau Yu Ning yang merawatnya, Ayah bisa menjadi anak yang manis dan tidak pernah marah. Berkali-kali beliau akan berkata baik kepada perawat maupun dokter, “Anakku pebisnis perempuan, tapi masih punya waktu untukku.” Dan untukku, perkataan itu tidak pernah disebut-sebutnya. Sekalipun, aku telah berusaha menjadi seorang anak yang baik di depannya. Barangkali, dia menyangka aku toh setengah pengangguran yang tidak punya banyak kerja. Lebih banyak menghabiskan waktu dengan ngobrol yang tidak berguna. Tentu saja aku tidak menyukai kata-kata itu. Kadang-kadang, aku merasa sangat dikecilkan oleh hal itu. Tersakiti entah di mana.

Seharusnya aku berpikir jernih saja, aku tidak harus merasa begitu. Mereka tetap tidak akan bermaksud jahat, bukankah mereka berdua keluarga dekatku, Ayah dan Yu Ning. Sering sekali aku merenungkan itu bahkan, aku pernah bertanya dengan seorang sahabatku yang psikolog. Tapi, jawabannya tidak memberi solusi yang memuaskan. Aku tetap merasa bahwa aku dan Yu Ning akan selalu beda prinsip. Sebetulnya aku cuma kasihan sama Ayah, seandainya Ayah tidak dirawat di rumah sakit, aku tidak ingin pulang. Apakah ini sebuah keegoisan, ketika aku merasa lebih nyaman tidak bersama mereka. Tapi dengan pekerjaanku, dengan Haryo, dengan teman-teman yang menurut Yu Ning tidak menghasilkan apa-apa, kecuali menghabiskan waktu. Dan siapa pun tahu, Ayah yang pensiunan dosen itu, biaya hidupnya ditanggung oleh Yu Ning. Sekalipun, aku juga suka membelikan Ayah sebuah kemeja yang cantik dan buku-buku biografi yang disukainya, atau mengobrol lebih lama tentang buku-buku itu di telepon. Bahwa, aku yang lebih banyak membelikan buku, karena kelihatannya Yu Ning tidak merasa perlu membaca biografi. Sedangkan yang pensiunan dosen sejarah itu, masih suka membaca hal-hal, yang menurut Yu Ning, tidak ada sangkut pautnya dengan dinamika bisnis hari ini.

Yah memang, sekalipun kami sama-sama di Jakarta, kami jarang bertemu. Sekali-kali, Yu Ning mengajakku ke restoran. Namun, aku selalu merasa tidak nyaman, tapi sejak kecil aku tidak bisa menolaknya. Haryo-lah yang dengan senang hati menerima undangan Yu Ning. Ia bisa meladeni omongan Yu Ning yang menurut perasaanku sangat sombong (dia selalu menceritakan suksesnya). Hal itu sudah sering kukatakan pada Haryo, tapi Haryo dengan enteng menjawab, “Kamu sih, tidak mempunyai sense of humor, kalau kamu punya, pasti cerita Yu Ning, lucu.”

Aku pasti tidak sepaham dengan ucapannya. Bisa jadi, aku lebih bisa ngomong dengan Mas Tomo kakak iparku yang pendiam.

Namun, betapa jengkelnya aku, kadang-kadang kangen juga kepada Yu Ning. Sering aku ingat, bagaimana, dia merawatku dengan telaten ketika aku kena tipus, memasukkan aku, ke rumah sakit yang mahal di kota ini. Dan kata Mas Tomo, “Yu Ning panik ketika kau sakit.”

Kadang-kadang, aku juga mengeluh tentang kesombongan Yu Ning pada Ayah, beliau bilang, “Kau pasti tahu, sebagai dosen sejarah, aku tidak akan pernah mendidik anak-anakku, dengan perasaan sombong. Kalau Yu Ning menjadi begitu, karena aku memberinya tanggung jawab yang sangat luar biasa, untuk seorang gadis kecil. Jadinya, dia memang sedikit superior.”

Sesungguhnya, aku dan Yu Ning lebih ingin Ayah pindah ke Jakarta. Tapi, beliau cuma betah tiga hari di rumahku. Dan, tiga hari di rumah Yu Ning, yang sebetulnya penuh fasilitas. Ayah selalu lebih merindukan tanamannya, teman main tenisnya, dan beliau mengatakan, “Rumah adalah istanaku.”

Aku sering berpikir, apakah Ayah tidak betah karena rumahku cuma BTN yang jauh dari pusat kota. Untuk hal ini, Ayah menyangkal keras, beliau bilang, “Kalau kau setua aku, baru kau bisa merasakan betapa tidak enaknya menginap di rumah orang lain, sekalipun rumah itu, rumah anakku. Aku juga tidak betah di rumah Yu Ning, yang mewah itu! Tapi, aku sendiri heran, aku merasa lebih nyaman kalau menginap di rumah adik-adikku.”

Tiba-tiba, aku merasa bersalah. Ayah sendirian dikala sakit. Seharusnya, aku dan Yu Ning berada di sisinya pada saat ini. Aku seperti anak durhaka, dan aku menangis keras. Haryo terbangun, “Kita bukan si Malin Kundang, Ayah pasti tahu kalau kau dan Yu Ning, sebaik-baiknya anak, maka pulanglah dan rawatlah beliau, sekalipun kau sering bilang, Ayah, kalau sakit, cerewetnya luar biasa.”

Sekarang sudah hampir subuh, besok malam aku harus ketemu Ayah. Ketika aku sudah berdiri di depan tempat tidurnya, Ayah berbisik, “Nana, aku senang kau bisa pulang.”

Beliau kelihatan senang, padahal aku pulang tidak dengan Yu Ning (anak kesayangannya). Aku merasakan keganjilan itu. Aku menelepon, Yu Ning!

Besoknya, kami sudah berdiri di muka Ayah. Beliau membuka matanya pelan-pelan, “Kamu datang berdua? Aku suka kalau kalian berdua bisa datang bersama selalu.”

Ayah, tersenyum.

Tiga hari setelah itu, Ayah meninggalkan kami berdua!

Malang, 26 Januari 2007
More aboutAYAH PULANG

MALING

Posted by Admin on Thursday, December 21, 2006

I.

Jambangan bunga porselen di rumah Pak Amat hilang. Amat ngamuk.

“Itu hadiah dari Gubernur. Barang kuno Cina dari dinasti Ming. Kalau dijual sekarang bisa lima milyar harganya!” teriak Amat mencak-mencak.

Dari pagi hingga malam Amat uring-uringan dan menyalahkan segala macam sebab yang dianggapnya sudah jadi biang kehilangan.

“Teledor! Ibu kamu sih yang kurang menghargai Bapak!” kata Amat pada Ami, “semua koleksi Bapak dibuangin satu per satu. Mula-mula burung perkutut. Katanya perkutut hanya bikin orang malas. Lalu anjing tidak boleh dipelihara, katanya rumah jadi bau. Lalu kursi rotan warisan orang tuaku, dijelek-jelekkan sebagai sarang bangsat, lalu dikasihkan begitu saja sama tetangga yang aku benci, lantas beli kursi yang pakai bantalan, tapi kalau diduduki jadi kempes dan bikin aku sakit pinggang. Kemudian sepeda, jam dinding, radio antik, meja marmar, lemari, kap lampu, bahkan juga pakaian-pakaianku semuanya disumbangkan kepada korban banjir. Padahal di antaranya ada jaket yang aku pakai waktu melamar dia dulu. Ibu kamu memang kurang perasaan. Sekarang jambangan bunga yang kata tetangga bisa laku sepuluh milyar, hilang, hanya karena jambangan itu pernah dipuji oleh wanita yang dicurigai ibu kamu itu bekas pacarku. Padahal … .”

“Padahal memang iya kan!” potong Bu Amat yang tiba-tiba muncul membawa pisang goreng.

Amat langsung menaikkan suara, mengoper jauh ke soal lain.

“Jadi pacaran itu bukan tidak boleh, tapi mesti ada batasnya Ami! Kamu ini bukan perempuan biasa. Kamu ini jadi rebutan. Ke mana saja pergi banyak harimau mau menerkam. Ya kan, Bu? Aduh pisang gorengnya harum sekali, pasti enak ini!”

“Sudah tidak usah dipuji, langsung saja dimakan. Dipuji juga tidak akan tambah enak,” kata Bu Amat mengulurkan pisang pada suaminya.

Amat meraih pisang dan langsung hendak disodokkannya ke mulut. Tapi kemudian ia tertegun. Pisang itu dipijit-pijitnya, lalu menoleh istrinya sambil melotot.

“Pisang apa ini keras?”

“Pisang dari porselen. Untuk ganti vas bunga yang hilang itu.”

Ami tertawa cekakan lalu mengambil pisang itu dari tangan bapaknya.

“Wah ini persis banget. Dapat dari mana Bu?”

Bu Amat tersenyum.

“Itu hadiah ulang tahun dulu, dari anak bupati yang naksir Ibu.”

“Bagus amat.”

“Katanya itu buatan Cina dari dinasti Ming.”

“Wah sama dengan vas bunga yang hilang ya?”

“Sama…”

“Harganya juga 10 milyar?”

“Ya kalau asli. Itu kan buatan lokal.”

“Palsu?!”

“Ya itu keahlian kita.. Di pasar Mangga Dua Jakarta apa yang tidak ada.”

“Persis sekali.”

“Tapi ibu tahu itu barang palsu, makanya ibu menolak sebab dia, karena sudah menipu. Ibu lebih percaya pada orang yang sederhana tetapi jujur seperti bapakmu ini. Hanya saja sekarang lagi kumat darah tingginya.”

Amat langsung bela diri.

“Bukan begitu. Aku kesal kok jambangan bunga kesayangan bisa hilang.”

Bu Amat tertawa.

“O masih cinta sama jambangan itu ya? Atau cinta sama yang lain?”

“Aku kesel!”

“Kesel kenapa?”

“Kalau bukan karena keteledoran kita, jambangan itu tidak akan hilang.”

“Keteledoran siapa?”

“Ya kita semua. Apa susahnya memasukkan jambangan bunga itu kalau sudah malam. Kan biasanya juga begitu. Sandal-sandal juga sekarang tidak berani kita taruh di luar sebab banyak orang mengira apa yang dibiarkan di luar itu boleh dipinjam selamanya. Jadi sebenarnya itu kesalahan kita!”

“Kok kesalahan kita, salah pencuri itu dong!” potong Ami.

“Salah kita, Ami!” sergah Amat. “Itu kesalahan kita. Maling tetap maling. Apa yang bisa dia maling akan dimalingnya. Kalau ada barang hilang bukan salah maling itu, tapi salah kita. Kenapa kita tidak hati-hati!?”

Bu Amat tercengang.

“Jadi yang salah aku dan Ami?”

“Pokoknya bukan salah maling itu!”

“Jadi salah aku dan Ami?”

“Ya kita semua!”

Bu Amat melengos, menghentakkan kaki karena tak setuju. Sambil merengut dia balik masuk rumah.

“Sama dengan kasus Lapindo itu, Bu!”

Bu Amat tidak menjawab, sebagai jawabannya pintu digebrakkan keras.

“Wah ini alamat buruk,” desis Amat.

Ami menghampiri bapaknya.

“Kenapa Bapak bilang sama dengan kasus Lapindo?”

“Ya sama kan! Orang banyak sudah salah kaprah. Untung ada Lapindo yang bisa dijadikan kambing hitam dan dituding sebagai yang bersalah. Itu kan sial saja. Coba kalau tidak ada penggalian oleh Lapindo, lumpur panas yang memang sudah mau muncrat itu satu ketika pasti akan muncrat juga.”

“Jadi bukan salah Lapindo?”

“Bukan!”

“Lalu yang salah siapa”

“Ya kita! Ya pemerintah! Ya semua aparat yang bertanggung jawab, kenapa selalu baru ngeh, baru ribut, baru mencak-mencak selalu sesudah kejadian. Kuno!”

Ami tertegun.

“Kalau begitu bapak tidak menyalahkan Lapindo?”

“Ngapain! Bapak bukan orang latah yang suka cari kambing hitam!!!”

Ami hampir saja mau nyemprot, tiba-tiba muncul para tetangga dengan hebohnya sambil mendorong seorang anak tanggung.

“Ini dia pencurinya Pak Amat!” teriak tetangga itu sambil mendorong anak itu ke depan Amat.

Ami dan Amat terperanjat sebab di tangan anak itu tergenggam jambangan bunga kesayangan Amat.

“Ayo ngaku, biar jangan kami yang dicurigai!” bentak salah seorang tetangga.

Anak tanggung itu ketakutan. Badannya gementar. Dia mau bicara. Tapi sebelum mulutnya terbuka, tiba-tiba bogem mentah Pak Amat mendarat di mukanya berkali-kali.

“Lapindo! Lapindo!”

II.

Duduk di meja makan, Bu Amat berpidato.

“Jadi jambangan bunga kesayangan Bapak itu sebenarnya tidak hilang. Tidak dicuri oleh Nak Kentut ini, tapi memang Ibu berikan baik-baik. Ya kan Nak Kentut?”

Kentut, anak tanggung yang duduk di ujung meja mengangguk. Ia memakai baju kaus oblong baru yang diberikan oleh Ami. Mukanya masih benjol-benjol oleh pukulan Amat. Meski pucat, tetapi sudah bersih karena mandi, memakai sabun wangi serta parfum yang diberikan oleh Ami.

Amat menatap takjub.

“Nak Kentut ini sudah tidak punya ibu dan bapak lagi. Keluarganya juga entah di mana. Dia biasa tidur di dalam pasar. Waktu kita mau membuat selamatan yang terakhir itu, dia menolong Ibu mengangkut belanjaan dari pasar ke rumah. Itu pertama kali Ibu mulai kenal dengan Nak Kentut. Dia sudah hampir dua hari tidak makan. Lalu ibu belikan nasi pecel dan ajak ke rumah. Bapak dan Ami waktu itu tidak ada. Di rumah tanpa Ibu minta dia menyapu dan ngepel. Waktu diberikan uang dia menolak, sebab katanya sudah Ibu belikan makan. Lalu Ibu tawari apa dia mau bekerja membantu-bantu di rumah kita ini, kan lebih baik daripada tinggal di dalam pasar. Di situ pergaulannya keras, bisa-bisa nanti jadi orang sesat. Ibu tawari gaji bulanan dan kalau memang rajin, nanti mau kursus apa begitu, untuk bekal hidup, kita bantu biayanya. Tapi Nak Kentut menolak. Mungkin malu. Yak kan Nak Kentut?”

Kentut mengangguk.

“Yak kan?”

“Ya.”

“Ya Bu!”

“Ya, Bu.”

“Nah, sejak itu, setiap kali ke pasar, Nak Kentut selalu menolong Ibu mengangkut barang-barang. Ibu juga selalu membelikan dia nasi. Kemudian pakaian-pakaian Bapak yang tidak pernah dipakai lagi, Ibu berikan kepadanya, daripada dimakan tikus kan lebih baik dimanfaatkan. Ya kan Nak Kentut.”

“Ya.”

“Ya, Bu.”

“Ya, Bu.”

Amat tidak dapat lagi menahan diri.

“O, jadi pakaian-pakaianku itu tidak hilang tapi diberikan kepada dia?”

“Ya.”

“Di mana pakaian itu sekarang?”

“Di mana Nak Kentut?”

Kentut menundukan kepalanya.

“Di mana, Nak?”

“Dipakai yang lain.”

“Yang lain siapa?”

“Orang-orang di dalam pasar yang tidur sama-samaku.”

“Kenapa?”

“Dibeli.”

“Kamu jual?”

“Ya.”

“Berapa?”

“Ya, ada yang ditukar dengan rokok, ada yang membelikan makan. Ada juga yang tukar dengan … .”

“Dengan apa?”

“Dengan gelek.”

Amat seperti disambar geledek.

“Apa? Gelek? Jadi kamu tukang ngisep gelek?”

“Sabar, Pak.”

“Sabar apa, kalau orang sudah ngisep gelek itu sudah kejahatan, bisa dihukum!”

“Saya tidak ngisep gelek, Pak.”

“Lalu?”

“Ya ada saja yang beli.”

Amat terbelalak.

“Wah-wah! Itu lebih bahaya lagi. Pengedar itu bisa dihukum mati, tahu!”

“Sabar, Pak, sabar. Itu kan dulu. Sekarang dia tidak begitu lagi. Ya kan Nak Kentut?!! Sekarang sudah insaf kan? Sekarang Nak Kentut sudah cari nafkah yang halal. Makanya Ibu bilang barangkali dia mau bantu menawarkan jambangan bunga itu kepada juragan-juragan Cina yang kaya-kaya. Siapa tahu barangkali benar laku 10 milyar. Ya kan Nak Kentut?”

Kentut menundukkan mukanya. Amat tercengang.

“Jadi Ibu yang sudah memberikan jambangan bunga itu pada dia, bukan dia yang mengambilnya?”

Bu Amat mengangguk.

“Ya Ibu bilang, sewaktu-waktu kalau sempat, nanti tolong tawarkan jambangan bunga itu kepada siapa saja, siapa tahu bisa jadi uang, bukan hanya jadi pajangan kebanggaan. Kita kan perlu uang, bukan kebanggaan. Ya tidak Pak? Makanya Bapak harus minta maaf sekarang karena sudah memukul. Orang mau menolong kok malah dipukuli. Ayo Pak, salaman dan minta maaf.”

Amat bingung. Hatinya berontak dan mau protes, tapi kakinya disentuh oleh kaki istrinya, sehingga Amat terpaksa menindas perasaan. Ia berdiri dan mengulurkan tangan kepada Kentut.

Kentut bingung dan takut, khawatir kalau tiba-tiba tangan itu mengepal lagi dan melanda mukanya. Ia hampir jatuh dari kursi sebab mau menghindar. Amat cepat menyabarkan dan menjabat tangannya.

“Maaf Kentut, anggap saja semua itu adalah kecelakaan. Kita memang sebaiknya bicara baik-baik sebelum bertindak. Maaf !!!”

Setelah disalami kemudian Ami mengantarkan Kentut pergi. Tinggal Amat dan Bu Amat di meja makan.

“Heran aku, Ibu ini kok keterlaluan!” kata Amat. “Pencuri sudah maling jambangan bunga, malah dirawat, dikasih makan dan pakaian, aku disuruh minta maaf lagi. Nanti apa kata tetangga kita?!!!”

“Stttt!”

“Sssst apa!”

“Lho Bapak sendiri kenapa bengok-bengok, maling itu tidak salah, tapi kita yang salah, hanya karena teledor?”

“Lha itu kan taktik, Bu! Taktik! Aduh, Ibu ini bagaimana! Taktik untuk memancing tikusnya keluar. Kalau aku tidak bengok-bengok mengatakan malingnya tidak salah, si Kentut Busuk itu tidak akan keluar liangnya membawa jambangan itu dan menawarkannya pada tetangga. Jadi itu taktik. Strategi! Masak Ibu tidak paham!!!.”

Bu Amat tak menjawab.

“Makanya belajar politik sedikit, Bu!”

Tiba-tiba Ami masuk bergegas. Mukanya berseri-seri.

“Ibu pernah kehilangan dompet?”

Amat bingung. Lalu ia memandangi istrinya. Bu Amat mula-mula tak menjawab. Tetapi kemudian mengangguk.

“Tiga kali.”

Amat kaget. Hampir saja ia mau marah, tapi suara Ami sudah memotong.

“Ibu pernah kehilangan perhiasan?”

“Dua kali.”

Amat ternganga. Tetapi Ami tersenyum, lalu membuka tangannya yang semula menyembunyikan sesuatu. Di situ nampak tiga buah dompet, kalung dan gelang emas Bu Amat yang hilang.

“Kentut mengembalikannya tadi. Katanya dia malu mengambil barang ini dari Ibu, satu-satunya orang yang masih mau mempercayainya dan Bapak yang bahkan tak segan-segan minta maaf, padahal vas bunga Bapak yang berharga 10 milyar sudah dia maling.”

Jakarta, 21 Desember 06
More aboutMALING

PENIUP SERULING

Posted by Admin on Friday, December 2, 2005

Aku sudah merasa seperti peniup seruling, yang akan membawa anak-anak keluar dari tempat yang paling jahanam itu. Sekalipun Papa bilang begini, “Kami tetap berdiri di semua keputusanmu. Jika kau ingin jadi pendamping petani, buruh, perempuan dan anak, korban kekerasan. Kau tahu, saya seorang psikiater, para pelacur adalah orang-orang penyandang patologi sosial. Bisa kau bayangkan, para kiwir (pelindung pelacur) akan melecehkanmu, sekalipun kamu di tempat itu sebagai pendamping anak-anak pelacur.”

Apa pun kata Papa tak membuatku ingin mundur dari pekerjaan yang ditawarkan Mas Obet itu. Sejak kecil aku sudah terobsesi dengan cerita seorang peniup seruling, yang bisa membawa anak- anak seluruh kota, dari orangtuanya yang arogan. Oleh karena itu, aku menerima tawaran Mas Obet (aku lulusan FIA UB Oktober 2004), untuk bekerja sebagai pendamping anak-anak pelacur di kompleks pelacuran yang terbesar di negeri ini (Dolly, Surabaya). Mas Obet bilang, “Tujuan pendampingan kita sebatas jangan sampai mereka jadi pelacur anak-anak.”

“Mas, anak-anak dari pelacur-pelacur itu apakah tidak bisa keluar dari lingkaran setan, ibu-ibu mereka, menjadi anak baik-baik! Seharusnya, itu kerja maksimal kita.”

Mas Obet cuma tertawa dan bilang, “Mbak Gita, sebaiknya segera observasi, dengan dua orang teman lain, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan.”

Aku merasa hari itu juga harus menjadi orang yang bisa menyelamatkan sekian puluh anak dari kehidupan yang sangat jahanam ini. Aku mulai dengan observasiku, yang diterima oleh ibu-ibu pelacur ini dengan tanpa semangat. Tetapi, aku bertemu juga dengan seorang perempuan, Tini, namanya, yang sedikit mau bicara denganku. “Mbak tahu, hidup ini harus jalan terus. Siapa sih yang tidak ingin membesarkan anak, bukan di tempat ini. Tapi, aku tidak bisa keluar dari tempat ini. Ketika baru sehari di sini, orang-orang di sini sudah bilang, ’Para pelacur berutang transportasi sampai ke sini, baju, make up dan lain-lainnya’. Aku betul-betul perawan ketika laki-laki yang tidak kukenal itu meniduriku.”

“Mengapa Mbak tidak lari dan kemudian lapor ke polisi. Mereka kan bohong, bilang kepada Mbak, akan dipekerjakan sebagai pelayan restoran.”

Tini tertawa lebar. “Mbak, itu seperti cerita sinetron, nyatanya saya di sini, sudah hampir sepuluh tahun, dengan dua anak. Mbak tahu, anak perempuanku yang terkecil pincang, dia tidak bisa jadi pelacur karena cacat. Apa ada tempat yatim piatu yang bisa saya titipi, agar anak ini bisa sekolah, dan tidak membebani kami.”

“Lantas, bagaimana dengan anakmu yang nomor satu, dia anak yang cantik, apa kamu tidak berpikir untuk masa depannya? Tadi, Sini bilang kepadaku, ingin menjadi guru SD seperti gurunya.”

Tini tersenyum, “Ah, anak-anak tidak mengerti susahnya orangtua, terlampau jauh kalau jadi guru, paling-paling tujuh tahun lagi, dia akan jadi pelacur di tempatku ini. Sekarang saja dia sudah genit, mencuri make up dan lipstikku.”

Aku terkejut, sangat terkejut mendengar ucapan Tini, yang ibu itu. Aku tidak pernah membayangkan hal seperti ini. Papaku seorang psikiater dan Mama seorang akuntan yang hebat. Namun, aku dan adikku hidup dengan norma yang diberikan oleh eyang. (Eyang putri serumah dengan kami sampai beliau meninggal tiga bulan yang lampau). Yah, sepanjang waktu, aku hidup bersama eyang, berkasih sayang, bertengkar, sebel, cinta pada eyang. Di sisi lain, kedua orangtuaku adalah bayang-bayang di senja hari. Sepulang dari pekerjaan, mereka kelihatan lelah, tidak sempat berbicara panjang lebar denganku. Kalau saja aku tidak ketemu Mas Obet di kampus, aku tidak pernah bayangkan kehidupan pelacur lebih dari yang diceritakan eyang. “Pelacur adalah perempuan yang menjual diri karena malas, kejalangannya, nasib sial, atau tekanan ekonomi.”

Aku tidak bisa mendefinisikan observasiku dengan hanya seorang Tini yang punya kiwir (yaitu pelindungnya, suami, makelar) yang mengantarnya ke tempat orang-orang yang membeli, kemudian mengambil bagian dari transaksi tersebut. Di sisi lain, pelacur atau tempatnya ibu-ibu dari anak-anak pelacur itu, tidak semuanya suka aku ajak bicara. Ada beberapa orang yang bilang begini, “Saya mau bicara dengan Mbak, asal dibayar seperti ketika saya meladeni tamu-tamu yang lain. Atau saya bisa meladeni sesama perempuan kok, ha-ha-ha….”

Aku merasa terkejut, tapi aku harus belajar banyak di sini. Yang penting bagaimana anak-anak pelacur itu bisa dekat denganku. Mas Obet bilang, “Jadilah pendengar yang baik.”

Dan aku membekali diriku dengan permen, buku gambar, buku cerita yang pada awalnya tidak diminati oleh anak-anak. Kebanyakan mereka lebih suka main game dengan PC yang disewa di seputar kompleks ini.

Rasanya memang aneh sekali, ketika ibunya bertransaksi dan masuk kamar dengan seseorang yang bukan bapaknya, mereka biasa-biasa saja. Bahkan anak-anak itu sudah bisa bicara dengan kata-kata tentang seks. Tetapi selebihnya, menurut guru SD di kompleks ini, mereka anak-anak biasa, ada yang lucu, malas, pintar, jahat, dan baik hati. Yah, seperti pada umumnya anak SD. Ketika aku tanyakan apakah tidak ada tambahan pelajaran budi pekerti, agar mereka tidak menjadi pelacur seperti orangtuanya. Pak guru Hadi yang sudah bekerja dua puluh tahun di daerah ini, menggeleng-gelengkan kepalanya. “Pihak sekolah sudah mengupayakan, agar mereka tidak menjadi pelacur, setidak-tidaknya pada usia muda. Kita tidak bisa melihatnya secara romantis. Misalnya para pelacur di sini diberi keterampilan menjahit, dan akhirnya menjadi penjahit profesional. Tentu saja ada satu, dua, dari sekian ratus pelacur yang berhasil keluar dari tempat ini, tapi hampir sebagian besar terpaksa meninggalkan tempat ini karena tua, sakit, dan kematian. Aku melihat, ada tiga generasi yang sudah menjadi pelacur di tempat ini. Mulai dari mbahnya, ibunya, dan Mbak pasti kenal, generasi ketiga adalah Tiwi yang bekas murid saya, yang mungkin akan digantikan oleh anaknya.”

Kala pulang, di tempat kosku ini aku merasa resah, tapi toh aku si peniup seruling, yang akan membawa anak-anak keluar dari kompleks ini. Padahal, Mama barusan meneleponku dan bilang, “Gita, maaf aku tadi membuka surat lamaran kerjamu. Profisiat, kamu diterima di perusahaan multinasional itu. Segeralah pulang dan kalau perlu secepatnya ke Jakarta. Mulai hari ini, Mama akan booking-kan tiket pesawat buatmu. Akhirnya, putri sulungku mendapat sesuatu yang pernah kita impikan bersama. Aku, Papa, dan adikmu sangat bahagia. Sebaiknya, kau bilang pada Mas Obet untuk memutuskan hubungan kerja ini. Kami akan membantumu dengan seorang pengacara. Yah, Papamu sudah ingin membelikan kamu sepatu yang bagus, baju, karena kau akan berkantor di sebuah apartemen yang megah, di mana ada banyak perempuan cantik berseliweran. Di antara mereka, ada engkau putri kami.”

Mama yang pendiam tidak pernah bicara sepanjang itu. Aku merasa rikuh. Lantas, sampai siang ini, aku tidak menata koper untuk pulang ke Malang, atau menelepon Mas Obet, untuk menceritakan aku akan menghentikan kegiatanku di sini, terima kasih atas kesempatannya. Entahlah, berat buatku untuk meninggalkan Diti, Sini, dan ibunya, Tini. Walaupun baru seminggu di sini, aku menyukai anak-anak Tini, aku sangat menyukai Diti yang pincang jalannya itu. (Diti, anak perempuan yang baru berusia tujuh tahun, seorang anak yang lucu, bagaimanapun keadaannya). Aku berharap tetap bisa keluar dari tempat ini dengan sekian anak, walaupun menurut beberapa orang, impianku tidak masuk akal. Mengapa tidak? Apakah aku dan anak-anak di tempat pelacuran ini dilarang bermimpi, menjadi orang baik-baik! Kalau mereka besar, menjadi orangtua baik-baik, tanpa dicemoohkan, kalau mereka berada di pasar, di kampungnya, di tempat-tempat ibadah. Sebab, aku tahu perempuan-perempuan yang datang untuk menawarkan daganganya suka mengambil hati Tini, dengan memuji kecantikannya yang masih awet, tapi selepas dari mata Tini, penjaja itu akan berkata dan bergurau jorok dengan temannya, tentang Tini. “Semalam, Tini mendapat kakap mungkin, kok belanjanya boros. Semalam, baru dapat teri mungkin kok belanjanya pelit. Sehingga uang lima ratus dimintanya kembali.”

Aku tidak senang dengan omongan itu. Sekalipun ucapan-ucapan seperti itu sejak awal kedatanganku ke kompleks ini sering aku dengar. Mereka sering mengucapkan kata-kata jorok, yang berbau seks. Bahkan pelacur-pelacur itu maupun orang yang di kompleks ini terbiasa bergurau dengan kalimat jorok berbau seks, setidaknya di depanku. Tini tidak pernah mengucapkan kata-kata jorok itu, yah sekalipun penampilannya sama dengan pelacur-pelacur lain. Semakin jauh aku kenal Tini, aku lupa siapa dia. Apalagi kalau Diti sakit, dia seperti kebanyakan ibu yang ada di seluruh negeri ini. Tini akan membelikan makanan yang sekiranya bisa membangkitkan selera makan anaknya di saat sakit.

Aku semakin akrab dengan anak sekitar sini, mengajaknya bermain teater, menggambar, bernyanyi. Dan mas Obet bilang, “Itu sudah keberhasilan kita, melihat anak-anak di kompleks ini masih bisa menikmati masa anak-anaknya.”

Aku tidak paham, mengapa itu dianggap sebuah sukses. Aku sering bercerita kepada akan-anak di kompleks ini, tentang sebuah tempat yang indah, lebih indah dari tempat ini. Sering aku bilang kepada mereka, kehidupan tidak harus di tempat ini. “Kita seharusnya berada di tempat lain, kalau sudah besar.”

Ada satu hal yang mengejutkan, beberapa ibu mengeluh pada Mas Obet, bahwa aku mengajari anak-anak mereka melawan ibunya. Ini suatu hal yang sangat tidak disukai oleh mereka, seolah aku sudah melempar pengaruh yang paling buruk. Aku tercengang mendengar ucapan mereka, aku cuma kepingin anak-anak bermain dan tidak berperilaku seperti orangtua mereka sekarang, kalau mereka sudah besar. Mas Obet sekali lagi bilang kepadaku, “Mbak Gita, jangan romantis, target kita bukan memberi bimbingan moral, agar mereka menjadi orang yang baik. Tapi mencegah mereka agar tidak menjadi pelacur anak-anak. Kata ibu-ibu, sejak kehadiran Mbak Gita, anak-anak suka tidak percaya pada omongan orangtuanya. Mereka mulai bermimpi untuk tidak menjadi seperti orangtuanya. Beberapa orang bilang, mereka akan menjadi orang baik-baik seperti sampeyan. Rupanya Mbak Gita sudah terlampau jauh dari target kita. Kalau mereka tidak suka dengan pendampingan ini, kita akan diusir, program kita semakin macet pendanaannya. Ini tidak akan mengenakkan kita semua kan.”

Aku merasa tidak paham lagi dengan Obet dan kawan-kawannya. Aku tidak paham, bagaimana dia menggarisbawahi pekerjaannya, hanya sampai di sini. Dan rasanya, dia tidak mencegah ketika ada satu, dua, anak remaja sudah buka praktik sebagai pelacur. Obet berkata, “Kita cuma bisa mencegah, kalau, mereka sudah jadi pelacur, ada banyak masalah. Kiwirnya, germo, pelanggannya dan kita harus siap dipukul kalau terlampau dekat dengan ikatan itu.”

Diam-diam aku tidak sepakat, dan diam-diam aku cuma menganggap suatu hari kelak, aku akan membawa anak-anak keluar dari tempat ini. Namun, satu per satu mereka tidak muncul untuk bermain, menggambar, dan bernyanyi kepadaku. Diti yang bilang, ibu-ibu mereka melarang untuk belajar denganku. Karena aku cuma gadis kota yang kaya, tidak akan paham bagaimana seharusnya mencari uang.

“Kalau Ibu masih membiarkan saya bersama Mbak, karena saya pincang dan akan sulit laku sebagai pelacur.”

Aku merasa ada kemarahan yang luar biasa dalam diriku. Tapi memang, anak-anak bimbinganku, semakin lama semakin sedikit. Akhirnya, aku mengerti ketika Obet berkata, “Mbak Gita harus menghentikan proyek itu sampai di sini. Saya bisa bantu Mbak Gita kalau ingin bekerja di tempat bimbingan lain, misalnya bimbingan petani.”

Malam itu, aku merasa diusir. Ketika aku harus betul-betul keluar dari pekerjaan ini, aku mencoba membicarakan hal itu pada Tini. “Yah, hidup kami memang sudah terbelit oleh utang, sampai hari ini utang saya terhadap orang-orang itu semakin banyak. Tak mungkin semudah itu keluar dari tempat ini, seandainya saya mau. Mereka akan menghalang-halangi saya, dengan cara apa pun. Kalau tidak bisa dengan kekerasan, mereka akan mengguna-gunai saya, sampai saya sakit dan mati. Kalau utang saya belum juga terbayar sampai saya tua, dan tidak laku lagi, Sini mungkin yang akan menggantikan saya,” katanya sambil menyedot rokoknya.

“Diti memang merepotkan kami, karena dia pincang dan sulit jadi pelacur. Oleh karena itu, apakah Mbak bisa menolong mencarikan penitipan anak cacat yang tidak membayar.”

Aku mungkin cuma orang yang tidak paham apa pun tentang hidup ini! Ketika aku keluar dari kompleks ini, bersama Diti yang pincang, anak-anak binaanku ikut menangis, kala melihatku, menangis!

Di Jakarta, aku mendaftar sebagai orang kantoran. Di apartemen yang megah itu (di daerah Kuningan) aku diterima! Mama mungkin benar, aku sebaiknya berada di sini saja, di antara perempuan yang terhormat, berbau wangi, berbaju seragam cantik!

Malang, 2005
More aboutPENIUP SERULING

BAJU

Posted by Admin on Wednesday, September 1, 2004

“Saya kira ini kejahatan yang luar bisa, bukan saja datang dari pihak Hastinapura, juga dari suami-suamiku, yang dengan gegabah mempertaruhkan diriku sebagai taruhan di meja judi. Ini penghinaan yang luar bisa, aku bukan budak atau selir! Aku permaisuri yang anak raja. Jadi, bagaimana mungkin mereka bisa mencampakkan harga diriku di bawah budak-budak istana? Padahal mereka satria unggulan, karena itu aku memilihnya!”

Aku memilihnya sebagai suamiku dan sekarang yang terlihat adalah ketika seluruh bajuku ditanggalkan oleh Dursosono, suami-suamiku cuma diam-diam saja. Apakah harga diri perempuan yang permaisuri ini di bawah norma hukumnya? Kalau aku tanyakan peristiwa ini, mereka pasti akan menjawab: seorang kesatria harus menepati janjinya?

“Satria-satriaku, tahukah kamu waktu itu, aku lebih tidak menyukaimu daripada Dursosono yang memang tokoh jahat (Krisna tahu karena keperempuananku Krisna tidak membiarkan aku telanjang di muka penjahat-penjahat itu).”

Air mata yang ada di sudut mata kangmas Yudistira atau kemarahan yang ditahan-tahan oleh Bima tidak bisa menolongku pada saat itu. Arjuna lelaki yang peka (lelaki yang paling kucintai) tidak berbuat apa pun dengan anak panahnya. Si kembar Nakula dan Sadewa cuma bisa menangis dalam hatinya, Destarata tidak juga berbuat banyak ketika kusimpuhkan diriku untuk meminta sikapnya. Juga eyang Bisma, paman Widuri yang terkenal bijak, juga tidak berbuat apa-apa. Dalam hal ini mereka menganggap semuanya harus mengikuti aturan main hukum yang berlaku!

Aku menangis, sakit hati, bukan saja kepada Dursosono tetapi juga kepada suami-suamiku. Ini bukan cinta kalau mereka tidak berbuat apa pun kepada kekasihnya. Tiba-tiba aku merasa iri kepada Shinta yang direbut kembali oleh Rama dari Rahwana dengan segala perjuangan dan penderitaannya, sementara diriku mereka biarkan begitu saja. Kalau aku tidak ditolong oleh para Dewa, sudah dari tadi seluruh tubuhku ditonton oleh mereka, dilecehkan dengan nafsu hewaninya di muka suami-suamiku.

Seharusnya suamiku tidak perlu menepati janji akibat dari kecurangan dalam perjudian ini. Di kaputren, para dayang sudah berbisik bahwa permainan dadu itu sudah dibuat sedemikian rupa sehingga para Pandawa pasti kalah.

Aku sebetulnya sudah melarangnya. Tapi, suami-suamiku yang perkasa tidak memedulikan naluri seorang istri. Mereka bilang, perjudian ini cuma menghormati tuan rumah yang sudah mengundang kita. Kalau kalah, mereka berjanji akan berhenti sebelum sepuluh kuda dan kereta perang dipertaruhkan.

Menurut pendapat mereka, dengan permainan ini mereka berharap akan terjadi sebuah perjanjian bahwa Hastinapura akan dikembalikan kepada mereka. Dengan begitu, mereka akan terhindar dari perang saudara.

Aku tidak percaya, tapi suami-suamiku bilang kalau perempuan selalu berbicara dengan perasaan tidak dengan otak. “Bersenang-senanglah di kaputren melihat taman yang indah yang akan menjadi milik kita kembali Dinda!”

Aku lupa siapa yang bilang begitu. Suami-suamiku memang memiliki satu pemikiran sekalipun watak mereka berbeda.

Duh Gusti………., mereka membuka bajuku, sepertinya aku ini budak atau pelacur. Tidak pernah aku diperlakukan seperti ini. Tubuh perempuanku adalah ekspresi dari seluruh jiwa ragaku. Aku selalu menuntut mereka memperlakukan aku dengan perasaan yang saling menghormati ketika kita bercinta. Suami-suamiku kuajari menyentuh dengan keindahan dan saling menghormati. Begitulah yang kita lakukan bertahun-tahun. Tapi, sekarang mereka tidak berbuat apa pun. Sungguh menjijikkan ketika kulihat suamiku cuma menunduk dan diam-diam saja (apakah mereka kali ini begitu bodoh, tidak melihat kecurangan itu?).

Pada saat itu aku memohon pada Dewata untuk mati saja daripada dihina seperti ini. Di mana orang-orang bersorak-sorai memberi semangat kepada Dursosono dengan menari-nari. Nampak olehku nafsu liar yang luar biasa dari mereka. Padahal mereka memiliki seorang perempuan juga, yaitu istri, ibu-ibu mereka, saudara perempuan, dan anak-anak mereka. Tapi, bagaimana aku bisa menuntut seperti angan-anganku ini. Aku sama sekali tidak mengerti ketika melihat Yudistira yang bijak cuma bisa menundukkan kepalanya. Padahal perempuan selalu menganggap suamilah yang akan melindungi dia melawan musuh-musuhnya.

Begitulah, aku sekian lama bermimpi suami-suamiku satria yang gagah perkasa akan menumbangkan darah demi melindungi istrinya. Tapi, kenyatannya mereka cuma diam-diam saja. Aku tidak tahu apakah dalam kejadian ini aku masih hidup atau sudah mati? Yang jelas aku mengatupkan bibirku karena aku tidak ingin sentuhan-sentuhan yang menjijikkan itu yang akan segera menikmati apa yang ada dalam tubuhku.

SEJAK kecil ibu sering berkata, “Hormatilah tubuhmu sendiri.” Oleh karena itu, sejak kecil aku mesti memperlakukan setiap bagian tubuhku dengan rasa sayang dan hormat. Dan sebagai permaisuri Hastinapura aku mengajari perempuan di sekelilingku, untuk mengekspresikan dengan hormat, dan indah, tubuhnya sendiri maupun tubuh suami mereka.

Dursosono masih menarik bajuku, dan atas pertolongan Krisna, baju dan kainku tidak pernah terbuka. Padahal aku tidak mempunyai kemampuan untuk menjaganya pada waktu itu.

Yang ada pada waktu itu, rasa sakit yang luar biasa di seluruh urat nadiku. Kalau saja Dewata pada waktu itu berdiri di mukaku yang kumohonkan adalah kematian! Rasanya aku sudah mempunyai firasat dan mimpiku yang berturut-turut bahkan sempat aku ceritakan pada suami-suamiku bahwa aku tidur dengan telanjang dan diperkosa oleh penjahat-penjahat Hastinapura.

Suami-suamiku dengan santun mendengarkan ceritaku, tapi mereka tidak mempercayai mimpiku. Undangan dari Hastinapura mengharu-birukan perasaan mereka dan setiap kecemasanku tidak pernah ditanggapi oleh mereka. Bahkan mereka dengan asyiknya berlatih main dadu.

Sesungguhnya, pada saat itu aku ingin sekali bumi ini terbelah dan aku masuk ke dalamnya. Namun, ketika mendengar sorak-sorai mereka dengan nafsu hewaninya dan ketidakberdayaan suami-suamiku ketika Dursosono membuka bajuku, kemarahan meledak di hatiku. Aku tiba-tiba ingin menyelesaikan masalah ini dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya, aku mencintai suami-suamiku dan inikah balasan mereka? Pernikahan kami yang bahagia berakhir dengan kepicikan mereka. Suami-suamiku seperti tidak menghargai lagi ekspresi tubuhku dan keberadaanku di tengah-tengah mereka.

Aku tidak tahu bagaimana mungkin suami-suamiku bisa terjebak dengan peristiwa ini. Dayang-dayangku saja tidak punya suami yang kelakuannya begitu hina-dina seperti ini. Bisakah kau bayangkan? Aku Drupadi dilahirkan dengan puja-pujian orangtuaku kepada Dewa Shiva selama beberapa tahun lamanya. Sekalipun kerajaan orangtuaku tidak sebesar Hastinapura, aku Drupadi yang diberi kebebasan oleh Romo untuk memilih sendiri suami-suami lewat sayembara.

Kupilih satria yang berbaju brahmana. Aku tidak pernah tahu kalau kangmas Arjuna yang memenangkan lomba membengkokkan busur itu adalah putra Kunti, sebuah kerajaan yang paling adikuasa. Jadi jelas aku tidak memilih suami-suamiku karena dia keturunan raja-raja Hastinapura. Bersama suami-suamiku aku tinggal di hutan, (ketika mereka diasingkan kami masih pengantin baru). Apakah ini bukan sebuah cinta yang tulus? Dan pada saat ini mereka menafikan cintaku, penderitaanku, dan mimpi- mimpi indahku. Menjadi bayang-bayang suram yang menaungi diriku.

Aku merasa pusing dan muntah-muntah. Sungguh aku tidak bisa menangis. Kupejamkan mataku hingga tidak kulihat kenyataan yang begitu dahsyat di mana suami-suamiku cuma pandai menundukkan kepala saja di tengah keliaran nafsu para Kurawa yang semakin kulihat sebagai iblis-iblis. Untuk berapa saat aku pingsan. Aku menyesal ketika aku terbangun dan melihat Dursosono masih mencoba menarik-narik busanaku sedangkan suamiku dan sesepuh Hastinapura sudah kehilangan akal untuk menghentikan kejadian ini.

Tiba-tiba, kemarahan membuat aku berteriak-teriak, “Destarata ambillah sikapmu, engkau tetap ayahanda dari mereka.” Aku lihat Destarata menjadi gemetar dan terduduk di kursinya. Eyang Bisma dan paman Widuri seperti blingsatan.

Kukatakan sekali lagi, “Baginda raja, tidak adakah lagi kebenaran di istana Hastinapura ini?” Aku lihat Destarata seperti dihantam dan akhirnya Widuri berkata, “Atas nama raja hentikan semua itu Baginda!”

Para Kurawa seperti mengaum.

Aku merasa bertarung sendirian di sepanjang waktu itu. Tiba-tiba air mataku jadi kering, kulihat Destarata yang tangannya terluka. Aku mencoba menahan seluruh kemarahan dan rasa benciku ketika Destarata memintaku membalut tangannya yang terluka.

Akhirnya Destarata berkata, “Mintalah apa saja kepadaku Drupadi, aku akan mengabulkan permintaanmu.”

Aku berkata, “Bebaskan Bima dan saudara-saudaranya.” Dan Destarata berkata kembali, “Kukembalikan Pandawa kepada kau sebagai suami-suamimu dan ini adalah anugerah dari raja Hastinapura.”

Kemarahan semakin meledak-ledak di dalam hatiku. Kurasakan penghinaan itu sampai ke urat nadiku. Aku kira ini bukan anugerah dari Destarata. Kurebut mimpiku sebagai perempuan.

Apakah suami-suamiku dengan caranya masih bisa disebut sebagai satria? Sementara itu, di sisi lain, aku masih menjadi bagian dari mereka, tak secuil pun yang akan menjadi milikku?

Jadi, setelah aku berikan seluruh jiwa dan ragaku kepada Pandawa tanpa seculi pun yang jadi milikku, aku jadi bertanya-tanya, “Siapakah diriku?”

Lantas “Aku bersumpah tidak akan menggulung rambutku sebelum keramas dengan darahnya Dursosono.”

Halilintar saling sambar-menyambar, Dewata menyaksikan sumpahku.

Para Kurawa dan suami-suamiku terpana! *

Malang, 1 September 2004
More aboutBAJU